Mbok Djum sebenarnya sih marah, tapi marahnya elit. Tidak kelihatan. Kalimatnya terstruktur, diplomatis. Tapi saya tahu, beliau sebenarnya marah.
"Dari tahun ke tahun harga BBM itu naik, dan itu bisa dipastikan.
Kalau harga semakin bertambah tahun semakin naik, itu artinya barang menjadi langka. Barang langka akan mengikuti supply dan demand, mengikuti pemenuhan dan kebutuhan. Artinya juga barang yang tersedia itu terbatas. BBM itu terbatas, tidak melimpah. Lha kalau barang terbatas, maka tidak selayaknya diprotes ketika terjadi kenaikan harga.
Setelah harga BBM naik dan demo-demo yang dilakukan kemarin itu, sekarang apa hasilnya? Mobil BBM tetap jalan, motor tetap diproduksi, SPBU selalu saja ada yang antri. Lho, kemarin itu demo atau cuman gaya-gayaan? Sekarang malah ikut antri ini bensin.
Dulu saya pakai minyak tanah, begitu minyak tanah diganti memang agak ribet pada awalnya. Namun setelah benar-benar diganti justru itu yang menjadikan minyak tanah tidak ada peminatnya. Konon sekarang minyak tanah sudah mencapai 7000 per liter. Nah, dengan harga segitu sepertinya tidak berdampak pada masyarakat bawah. Lha wong minyak tanah sudah tidak ditinggalkan oleh penggemarnya. Berapapun harga minyak tanah melambung tinggi, adem ayem saja tidak ada gejolak.
Kan sudah pasti tiap tahun harganya naik. Terkejut lagi, gejolak lagi, demo lagi. Apa gak capek?
Kalau memang BBM itu membuat masalah terhadap kita semua, ya harus dimusuhi sedini mungkin. Tinggalkan, boikot pemakaiannya, jangan dipakai lagi. Kalau memang menolak kenaikan harga BBM, ya harus konsisten. Tolak kenaikan harga BBM, artinya cari SPBU yang harga BBM nya tidak naik, kalau harganya naik jangan dibeli.
Cari alternatif lain yang bisa menggantikannya."
wkwkk.. paten itu saran mbok Djum, jangan mau beli di spbu yang harganya naik. :))
BalasHapus