Selasa, 16 September 2014

PowerAnger

Mungkin menurut kita, seorang yang sering marah-marah di pabrik adalah orang yang menjengkelkan dan harus dihindari sejauh mungkin. Ada kesalahan sedikit, marah. Ada laporan kurang, langsung komplain. Ada kerjaan yang gak beres, hajar. Pokoknya semua hal yang gak sesuai dengan dia, langsung disikat tanpa ampun.
Bisa jadi seseorang itu adalah rekan kerja kita sendiri, atau bahkan atasan kita sendiri.

Maka semua hal yang berhubungan dengan dia, sebisa mungkin dikerjakan dengan sebaik-baiknya, dengan sebenar-benarnya. Begitu dibawa menghadap kepadanya, harus siap mental akan mendapatkan langit runtuh, hujan komplain, kurang ina inu, pokoknya marah. Gak ada hal yang lolos dari dia, pokoknya marah dulu baru kemudian didiskusikan apa maunya.

Pernahkah terpikir, bahwa rekan kerja atau atasan yang sering marah-marah itu kok dipertahankan oleh pabrik? Kenapa dia masih saja ada di pabrik. Padahal orang seperti itu bisanya hanya membuat stress yang lain saja, membuat orang jadi gak betah dengan kerjaannya masing-masing.


Ada beberapa alasan bagi jajaran manajemen pabrik mempertahankan orang-orang seperti itu. Orang yang mempunyai power untuk marah setiap hari.
Beberapa orang masih menganggap masayarakat kita (kita? saya Enggak) harus dimarahi dulu agar bekerja sesuai dengan yang diharapkan. Orang lokal, bahkan termasuk orang expatriat juga. Entah siapa yang memulainya, kecenderungan bahwa masyarakat kita itu harus dimarahi, sudah terbentuk sejak dulu. Alasan yang sering dimunculkan adalah bahwa pabrik harus bekerja keras untuk memenangkan persaingan. Jika tidak bekerja keras dan benar maka akan kalah.
Manajemen pabrik tidak mungkin mengontrol semua orang satu per satu agar mereka bekerja sesuai dengan aturan yang dibuat. Dengan memiliki orang tipe marah seperti ini, pabrik cukup memberikan perintah "tolong kerjakan ini, selesai nanti sore." maka perintah tersebut akan dilaksanakan tepat pada waktunya tanpa harus mengeluarkan tenaga untuk suara yang lebih keras, atau tenaga marah itu. Cukup perintah itu diberikan dengan satu kalimat saja di ruangan, maka lihatlah sendiri hasilnya di lapangan. Semua orang akan bekerja keras sesuai dengan perintah pabrik. Entah kalimat apa yang disampaikan orang tipe marah ini kepada para pekerja, yang pasti lebih panjang dan lebih keras daripada kalimat perintah di dalam ruangan kantor tadi.
Untuk masalah Quality dan Akunting, Harus! Orang-orang dengan tipe marah harus ditempatkan di tempat ini. Semua hal yang tidak sesuai dengan kualitas harus dimarahi, harus ditindak tegas. Seperti halnya alasan di atas, tegas itu sudah diartikan dengan marah. Apalagi hal-hal yang berhubungan dengan uang. Semua laporan yang masuk ke Akunting harus ada bukti dan validasinya. Kalau tidak, maka harus bersiap-siap kena marah dan omelan plus tanggungan kerugian.
Ada juga yang membuat suatu simulasi pahlawan. Salah seorang jajaran manajemen pabrik memberikan perintah kepada tipe pemarah ini. Maka disampaikanlah perintah itu kepada para pekerja dengan gaya sehari-harinya. Otomatis perintah tersebut membuat stress dan galau para pekerja. Saat itulah manajemen muncul sebagai pahlawan penyelamat, memberikan sebuah solusi jalan tengah atas perintah yang diberikan. Beneran jadi pahlawan kan, apalagi memberikan kelonggaran terhadap perintah yang diberikan. Sedangkan sang tipe marah tadi, tetap dilindungi tidak diapa-apakan.

Pertanyaan untuk masyarakat kita saat ini, haruskah kita dimarahi dulu agar bekerja, bergerak, berpikir? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab di hati masing-masing. Tapi sebenarnya kita ini sudah dewasa, harusnya bekerja itu sesuai dengan kesadaran diri, bahwa ini benar dan itu salah tanpa harus dimarahi. Kita itu sudah dewasa untuk dimarahi, kita sudah terlalu tua untuk dimarahi, gak pantes. Sadar diri sajalah. Namun masalahnya, untuk mengubah persepsi orang-orang terhadap kita itu tidak mudah. Begitu juga untuk mengubah jutaan masyarakat kita untuk sadar terhadap pekerjaan itu juga tidak mudah.

Jadi kesimpulannya, simpulkan sendiri.

25 komentar:

  1. Saya juga kepikiran begitu sih waktu denger cerita dari nasabah kalo bosnya itu galaknya ampun-ampunan. Sebenernya memang yang paling penting adalah kesadaran diri untuk bekerja sebaik mungkin dengan dan atau tanpa pengawasan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maka harus dimaklumi saja lah, kalau memang dia harus marah-marah agar pekerjaan terselesaikan. Karena itu merupakan kemauan dari manajemen pabrik untuk rekrut orang-orang seperti itu

      Hapus
  2. Biasanya orang seperti itu disayang oleh si boss karena disiplin, paling gak suka sama orang yang gak peka pada pekerjaan hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Naah, perusahaan menginginkan orang-orang yang teguh memegang disiplin, sedangkan kita malah gak pengen ada orang marah-marah.
      Di sini ada hal-hal yang mungkin bisa dikompromikan namun ya itu tadi, susah.

      Hapus
  3. karena sudah di cap demikan ya, masyarakat yang kurang disiplin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk mengubah persepsi itu sangat susah, harus dimulai dari sekarang di sini. Agar generasi berikutnya menjadi orang-orang yang sadar akan pekerjaannya

      Hapus
  4. Terkadang itu sebuah lecutan untuk suatu yang lebih baik

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya benar, bahkan mungkin sudah dipersepsikan "pokoknya" harus dilecut agar bisa jadi baik.

      Hapus
  5. sebagian masyarakat memang ada yg harus dimarahi dulu baru bekerja, tapi tidak semua. Marah dulu baru diskusi, ga jamannya lagi kali*karyawan terbaik yg ga suka, pasti kabur semua, tinggallah yang cocok dgan yg marah2 itu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang resikonya adalah karyawan yang baik akan kabur menghadapi orang-orang type marah ini

      Hapus
  6. hm.. ada cara pandang memang mempengaruhi sikap terhadap sesuatu ya mas... yg jelas memang ada plus minusnya pemimpin tipe pemarah ini..tinggal ditimbang-timbang berat mana ya? hehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaa itu tergantung kebijakan perusahaan juga sih. Maka yang sering muncul adalah pertanyaan tersebut, mengapa orang seperti itu masih dipertahankan dan menjadi bagian dalam perusahaan

      Hapus
  7. Saya paling takut kalau lihat orang marah2. apalagi kalau di tempat kerja. Hiiii. Semoga kita( kita?), tergolong orang yang bertanggungjawab dalam bekerja ya, Pak.

    Btw, saya kangen Mbok Djum. Salam buat beliau ya, Pak. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, semoga kita menjadi orang-orang yang bertanggung jawab terhadap tugas-tugas yang harus diselesaikan.
      Pertanggungan jawab inilah yang dituntut dimanapun kita bekerja tanpa harus adanya marah-marah

      Hapus
  8. seberapapun galaknya atasan itulah bagian dari resiko dan salah satu poin kenapa kita di gaji oleh perusahaan, selain mengerjakan tugas dan tanggungjawab, tugas kita kan juga disemprot atasan....kalau ngga mau gituh...ganti pekerjaan jadi tukang dagang ubi ...misalnya, pasti kita yang bakalan marahin anak buahnya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahahaha sebenernya saya juga sempat berpikir ke arah sana. Bagaimana jika saya berposisi di tempat seperti dia. Apakah saya akan diam saja atau akan marah ....

      Hapus
  9. "aruskah kita dimarahi dulu agar bekerja, bergerak, berpikir?" jadi nostalgia dengan salah satu bos dulu. Dalam seminggu minimal sekali beliau mengatakan kalimat tersebut. ( lha nyaris selalu ada yg gak bener menurut beliau)

    BalasHapus
    Balasan
    1. naahh yang sudah pernah mengalaminya, ceritakan dong tentang pengalamannya itu

      Hapus
  10. Postingan menarik, penempatan elemen pemarah dalam sistem produksi. Sang pemarah juga jadi korban ya, dimanjakan sifat pemarahnya jadi bahan umpatan yang terkena amarahnya.
    Terima kasih perenungan menggelitik ini Mas.
    Salam

    BalasHapus
    Balasan
    1. bisa juga memang sudah disiapkan seperti itu. Sang pemarah ini sengaja dipakai sebagai bemper untuk semua kebijakan-kebijakan yang berlaku di pabrik.

      Hapus
  11. Apa karena pengaruh budaya juga mas?

    Jadi inget aku sempat keheranan saat ada teman blogger bilang ada perusahaan perusahaan di tanah air sana yang sengaja mendatangkan orang orang seperti MT misalnya yang memberi motivasi pada karyawannya, profesi seperti itu belum ada di sini mas, kebayang andai ada, pasti orang orang sini mungkin akan marah karena ada yang memberi motivasi agar bisa bekerja sebaik mungkin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Whaa ternyata di sana gak ada trainer MT ya
      Berarti harus tertanam bahwa bekerja itu ya bekerja menyelesaikan pekerjaan tanpa harus dimarah-marahin

      Hapus
  12. bisa juga, kita sendiri..

    BalasHapus
  13. mantappp... gooddd postingannya

    BalasHapus

Ada komen, silahkan.
Mohon maaf jika tersandung Chapcha, setting saya sudah non-aktif tapi mungkin ini adalah kebijakan blogspot. Terima kasih