Senin, 10 November 2014

Ibu, tempat mengadu

Dulu waktu kecil katanya saya punya ketakutan yang aneh. Waktu itu masih seumuran 4 tahun takut sama burung merpati. Tetangga sebelah memelihara burung merpati di banyak di rumahnya. Pagupon dengan aneka bentuk tertempel di temboknya berjajar, banyak. Begitu saya keluar rumah, tiba-tiba seekor merpati turun ke bawah. Saya langsung teriak dan menghabur ke Ibu "Ibuu... ada ituu ...!" Atau pas ketika lewat dan burung merpatinya sedang berkeliaran di tanah. Saya jalan sambil pegangan kaki Ibu rapat-rapat. Saya tertawa ketika Ibu cerita phobia merpati itu.

Menginjak masa sekolah SD saya sering sakit-sakitan. Waktu itu saya sakit panas. Di tangan Ibu benar-benar di rawat secara serius meskipun dengan obat yang sederhana. Hanya dengan mengunyah sesuatu, dan melaburkannya ke jidat saya disertai dengan doa yang sangat sederhana. "Bismillah Ya Allah sembuh" Sambil menepuk-nepuk jidat saya. Ternyata yang dilaburkan adalah beras dan kencur. Pernah suatu kali saya terserang gondongan. pipi dan leher saya membengkak. Ibu langsung pergi ke warung cari blawu. Dengan segera dilaburkan ke leher dan pipi saya, sebagian dioleskan ke bibir. Whaa bibir jadi membiru. Tetap dengan doa yang sama "Bismillah Ya Allah sembuh." Saya percaya saja dengan obat yang diberikan Ibu, karena doa Ibu sangat menentramkan.


Pernah suatu hari saya mengejar layang-layang putus di tengah sawah. Saya kejar hingga ke lembah sungai. Entah karena senang asyiknya mendapatkan layang-layang atau bagaimana, ketika keluar dari sungai kaki agak terasa perih. Saya biarkan saja perih itu. Lama-lama kaki saya semakin sakit ketika mendekati rumah. "Lho kakimu kenapa? Kok ada bercak darah di sepanjang jalan." Begitu kata teman saya. Saya terkejut, langsung menoleh ke jalan belakang. Saya angkat kaki, di telapak  terlihat luka menganga dan berdarah-darah.
Sepertinya tadi di sungai saya menginjak beling tanpa saya sadari. Saya berjalan pincang, menahan perih yang hebat. Sesampai di rumah ketemu bapak. Bukannya ditolong malah layang-layang disobek-sobek. Bapak benar-benar marah "Besok-besok lagi diulangi ya, biar kakinya putus!" sambil membanting layang-layang saya yang sudah ringsek "Bukannya tidur malah panasan cari layang-layang."
Saat itu saya benar-benar takut dengan bapak. Kemana lagi kalau bukan ke Ibu. Ibu dengan telaten membalut luka di telapak kaki. Tentunya dengan omelan-omelan. Setelah kaki dibalut, saya benar-benar tidak bisa berjalan. Berpindah tempat selalu dibantu dengan Ibu.

Saya beranjak besar. Lokasi Sekolah SMP yang jauh mengharuskan saya menggunakan sepeda untuk bersekolah. Karena SMP masuk siang saya iseng-iseng cari tambahan uang jajan dengan menjual koran. Paling selesai sekitar jam 9 dan saya bisa punya banyak waktu bersiap untuk berangkat sekolah. Itung-itung bisa cari uang sendiri. Sesampainya di rumah langsung dihadang oleh Ibu. Ibu marah besar. Saya dibilang masih kecil, belum waktunya untuk cari uang. Kalau uang jajan dirasa kurang, memang harus begitu.Uang jajan tidak boleh lebih dari itu.
Kali ini Ibu benar-benar tidak kompromi terhadap pengaturan uang. Uang yang diberikan berjangka 1 minggu, harus bisa diatur dan untuk uang jajan dan pembayaran sekolah. Ibu tidak memberikan uang sekolah secara khusus. Uang harus disisakan dari uang jajan yang diberikan secara mingguan. Meskipun dibilang masih kecil tapi sudah harus bisa mengatur uang yang diberikan.
Ada kesempatan lagi. Aku ditawari sebuah pekerjaan di salah satu bengkel las. Tempatnya sih tidak jauh dari rumah, hanya keluar gang dan menuju jalan raya langsung ketemu tempat kerjanya. Setiap pulang dilihatnya saya dalam keadaan kotor. Baju kotor, tangan dan kaki kotor. Pekerjaan las dimanapun tetap saja kotor. Saya mendapatkan bayaran harian, Lumayan untuk beli kebutuhan sekolah dan fotokopi. Setelah kerja 1 bulan berjalan, Ibu sepertinya tidak begitu sreg dengan apa yang saya kerjakan. Saya pun harus keluar dari kerja tukang las dan kembali dengan kesederhanaan.

Tanpa terasa sekolah saya sudah tingkat SMA akhir. Saya baru mengerti bagaimana susahnya mencari uang. Dan yang lebih hebatnya lagi, ajaran Ibu tentang mengatur uang itu lebih sulit daripada mencari uang. Ibu juga berterus terang bahwa larangan kepada saya bekerja di waktu kecil itu karena Ibu tidak rela saya jadi orang kecil, dibayar kecil. Lebih baik orang tua saja yang menanggung hidup agar saya fokus belajar dan menjadi orang besar. Mulailah saya mengenal bisnis.

Apa daya, bisnis yang saya jalani selalu ada halangan. Dan semua permasalahan saya tumpahkan kepada Ibu.

"Uang saya segini, harga barang segini. bagaimana menurut Ibu?"
"Bu, saya kekurangan uang."
"Bu, barang saya kok tidak datang-datang ya?"
"Bu, saya tidak bisa menyelesaikan order yang ini. Bagaimana ya?"
"Bu, kiriman saya ke orang ini gak sampai-sampai. Bagaimana ya?"
"Bu, orang itu gak bayar. Padahal barang sudah dikirim."
.....
...

Semua pertanyaan saya tumpahkan ke Ibu. Meskipun menurut saya Ibu tidak akan bisa jawab. Tapi Ibu menyediakan hati seluas samudra menerima pertanyaan dan keluhan saya. "Kalau ada apa-apa ngomong saja ke Ibu." Begitu pesan Ibu setiap saya terdiam sendiri di kamar.

"Bu, kuliah saya tidak bisa dilanjutkan. Saya harus berhenti untuk sementara untuk mencari dana. Untuk melanjutkan sekolah nantinya." Begitu kata saya pada suatu saat. Dengan senyum dan keluasan hati, Ibu memberikan dukungannya. "Kamu boleh menentukan sendiri pendidikanmu. Kamu saya didik untuk menjadi orang besar. Maka kewajiban belajar itu harus dimana saja. Kamu harus belajar dengan keras di sekolah maupun di luar sekolah. Berhenti kuliah pun tidak berarti kamu harus berhenti belajar."
"Iya Bu, saya akan cuti kuliah. Saya akan kerja dulu paling lama 1 tahun untuk kemudian akan melanjutkan kuliah lagi. Saya akan tetap terus belajar di tempat kerja meskipun tidak berada di kelas."

Ah Ibu, beliau memang merupakan tempat yang pas untuk kembali dari segala keruwetan di luar rumah. Hati yang menentramkan selalu tersedia untuk dikunjungi setiap saat.

"Bu, saya putus cinta." Ucap saya suatu waktu. Ibu geleng-geleng kepala menghela nafas panjang. Anak lanang ....

Artikel  ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera

39 komentar:

  1. Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan :Aku Dan Indonesia di BlogCamp
    Dicatat sebagai peserta
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
    Segera didaftar
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah sudah diverifikasi oleh sohibul hajat. Terima kasih pakde. Semoga saya menang Alhamdulillah. Hahahaha psy war di kandang sendiri

    BalasHapus
  4. Balasan
    1. Alhamdulillah bisa dinikmati oleh sampeyan

      Hapus
  5. Hiiiks, baca postingan-postingan untuk kontes ini kok saya mewek terus ya. Ibu memang tiada duanya. Semoga menang ya Bang..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padahal saya berusaha untuk tidak menangis ketika menuliskan ini. Ibu memang menyediakan hati seluas samudra

      Hapus
  6. iya saa waktu kecil juga pernah gondongan trus dipakein blao..sekarang masihh ada ngga ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ooo pernah juga ya mengalami gondongan. Saya gak tahu itu blawu bisa dipertanggung jawabkan secara medis atau tidak. Yang pasti saya bisa sembuh berkat itu.

      Hapus
  7. Sekolah naik sepeda dan coba jualan koran, hmm... jadi ingat dulu saya juga naik sepeda dan berjualan koran. Jadi kangen banget saya ibu, mencium tangannya, dan terasa nyaman berada di dekatnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya berjualan koran dan bersepeda itu menyenangkan, namun sayang ibu tidak memperbolehkan saya berjualan koran.
      Memang benar, kasih sayang Ibu sangat menentramkan bagi anak-anak yang sedang jauh

      Hapus
  8. Mungkin hampir seluruh Ibu diseluruh dunia spt itu ya...
    Ibu sy jk mengobati sy wkt kecil jg selalu mengucap"Bismillah, tombo teko loro lungo, Gusti Allah maringi sehat"...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Doa ibu, hanya berbekal keyakinan kepada Allah, obat apapun yang diberikan bisa menyembuhkan. Meski sembuhnya tidak langsung, hati yang menentramkan bagi yang sakit itu lebih berarti dari obat itu sendiri.

      Hapus
  9. Siapapun tak akan pernah bisa membalas kebaikan ibunda. Terima kasih ceritanya yang bikin haru Mas. Semoga sukses di GA.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kebaikan Ibu tidak akan bisa terbalaskan. Yang bisa kita lakukan adalah membuat beliau tersenyum itu sudah cukup bagus. Terima kasih telah berkunjung.

      Hapus
  10. Terharu, Bang.. :')

    Aku jarang sih cerita sama Mama.. Lebih sukak dipendem sendiri ajah. :P

    BalasHapus
    Balasan
    1. cobalah, bisa dimulai dari sekarang kok. Ibu bisa menjadi teman buat kamu beb.

      Hapus
    2. Kadang aku ngga pengen membebani pikiran beliau dengan masalah sepele ku, sedangkan mungkin beliau sendiri punya banyak hal yang lebih layak untuk dipikirkan..

      Hapus
  11. endingnya makjleb mas ..
    kalo sy yg jd jurinya .. udah sy suruh gondol gift nya
    #sukses

    BalasHapus
    Balasan
    1. Endingnya dipilih cerita yang itu hahahaha

      Hapus
  12. Deket banget ya ama Ibunya, anak laki emang gitu kali ya....he he he

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sejak kecil dekat dengan Ibu, mungkin karena ibu gak punya anak perempuan kali yah.

      Hapus
  13. Nggak ada orang lain yang paling mengerti saya daripada ibu
    ah, jadi kangen sama ibu saya di rumah T____T

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar mbak, Ibu adalah orang yang paling mengerti apa-apa kemauan kita. Bahkan untuk hal-hal yang tidak terjawab pu Ibu tahu caranya.

      Hapus
  14. Mandiri sekali sejak kecil ya Mas. Ibunya pasti bahagia memiliki putra seperti sampean.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah saya sampai sekarang masih terus berhubungan dengan Ibu walau hanya lewat telepon. Ibu selalu menanyakan kabar, kalau sudah begini surga sudah turun ke dunia

      Hapus
  15. ibu selalu mau berkorban untuk anak-anaknya ya. good luck mas

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya benar, ibu akan selalu ada bagi anak-anaknya

      Hapus
  16. Ibu pun selalu cerita, bahagianya anak lanang selalu berbagi hati dengan Ibu.....
    Berusaha meneladan Ibunda, menyediakan telinga hati lebih dari kata ucap...
    Sukses di kontesnya Pakdhe ya Mas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anak-anak akan merasa lebih nyaman jika sudah berada di dekat Ibu. Bahkan ketika sudah tidak ada teman lagi, teman yang selalu setia adalah Ibu

      Hapus
  17. baca cerita ini jadi inget masa-masa ngadu dengan ibu....ibu memang tempat paling nyaman untuk ngadu yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya benar, ibu adalah tempat paling nyaman. Beliau menyediakan kehangatan jiwa di saat hati sedang rapuh

      Hapus
  18. Ibu... adalah nama lain dari Kasih Sayang... Semoga sukses di GA Pakde ini, mas..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Naah ini lebih bagus lagi, kasih saya ada pada sosok yang bernama ibu

      Hapus
  19. anak lanang yang dekat ibunya :) jarang looo yg bs gitu, selain anak lanang yg baik :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sewaktu saya belum bisa mandiri, saya selalu bergantung kepada ibu. Oleh karena itu ibu serasa lebih dekat

      Hapus
  20. Keren. Ibu sebagai temat curhat, tempat paling pas untuk mengadu. Rata2 cowok dekat sih sama Ibunya. Tapiuntuk mengungkap kedekatan itu, sepertinya jarang hehe.

    http://nahlatulazhar-penuliscinta.blogspot.com/2014/11/istri-yang-baik-itu-seperti.html

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang seperti itu, kebanyakan anak laki-laki tidak mengungkapkan dengan jelas bahwa mereka sesungguhnya dekat dengan ibu mereka

      Hapus

Ada komen, silahkan.
Mohon maaf jika tersandung Chapcha, setting saya sudah non-aktif tapi mungkin ini adalah kebijakan blogspot. Terima kasih