Rabu, 02 Maret 2016

Teman rusak

Kali ini saya akan cerita. Yang tidak setuju dengan pandangan saya monggo saja.

Dulu, waktu saya (pernah merasakan masih) muda, bergaul dan berkumpul dengan berbagai macam orang dari orang alim hingga orang rusak. Kumpulan saya dengan orang alim tidak usah diceritakan, nanti saya mendadak jadi ustad atau kiai. Kali ini saya cerita tentang teman-teman saya yang rusak saja.

Sebut saja dia namanya Tejo. Saya kenal dia karena satu kampung dan sering ketemu. Orangnya sangat supel sekali, mudah bergaul. Dalam kumpulan remaja dan pemuda, jika Tejo belum hadir suasana serasa kurang. Tejo yang selalu membawa guyonan segar, joke yang tidak menyinggung pribadi sehingga suasana menjadi cair dan semua orang yang ada selalu tertawa keras, ngakak.
Sayangnya, dia juga bergaul dengan teman-teman yang lain yang suka mabuk. Tiap minggu kumpulannya dengan pemabuk. Kalau urusan mabuk langsung maju jadi bandar, jadi orang yang bagi-bagiin takaran. Jaman dulu orang mabuk itu dimusuhi masyarakat, atau sebaliknya, orang mabuk selalu memusuhi orang-orang normal. Jaman dulu mabuknya gak elit, cafe belum ada, diskotik mbayarnya mahal. Maka sasaran tempat-tempat sembarang. Bikin rusuh di pos, di pinggir kampung, di jembatan atau tempat-tempat yang menjadi area kekuasaan untuk mabuk. Orang kampung sudah sering menghalau Tejo dan teman-temannya ini, tapi yang namanya orang bandel ya lama-lama orang kampung jadi maklum. Yang penting gak bikin onar.


Saya?! Tejo adalah teman saya, dan sepertinya dia juga lebih terbuka bercerita dengan saya. Dari cerita-cerita yang mengalir dari mulutnya, di hatinya ada rasa ingin jadi orang baik. Ingin rajin sholat, ingin bisa ikut ngaji dan menjauhi acara mabuk-mabukan agar tidak dimusuhi masyarakat, tapi dia merasa gak mampu. Saya juga gak bisa langsung hantam dengan kata-kata "tinggalkan perbuatan itu!" atau pakai dalil yang dia sendiri gak ngerti. Saya ingin memberi tahu Tejo dengan cara saya sendiri. Saya ingin membantunya sesuai dengan apa yang diharapkan.
Seringkali saya juga hadir di acara mabuknya mereka. Saya hanya ingin menemani Tejo saja di situ, kalau saya ditawari saya gak mau. Mungkin mereka segan memaksa karena saya bukan peminum. Saya juga mengambil resiko jika sewaktu-waktu ada percekcokan maka saya bisa dikeroyok, Alhamdulillah saya bisa membawa diri.
Intinya apa? Saya gak ikut minum. Biarlah orang menyebut saya dengan dalil "Barang siapa duduk dengan suatu kaum, maka dia termasuk dalam kaum tersebut." Dan saya dihukumi sebagai salah satu pemabuk, terserah.

Suatu hari Tejo sudah menjemput saya, saya jawab "Kalau mau bareng saya, tunggu saya sholat Isya dulu di masjid." Jawab saya singkat. Saya gak maksa Tejo masuk masjid dan sholat, tapi dia setia menunggu di luar. Dalam hati saya merasa sudah menang. Setelah selesai sholat, saya berucap ke Tejo "Pak Nur itu tidak akan marah melihat kamu mabuk. Tapi Beliau akan marah besar kalau saya gak ada dalam  barisan sholat."

Pak Nur adalah guru ngaji saya. Beliau yakin dengan apa yang saya lakukan. Selama saya tidak melakukan perbuatan maksiat dan dosa, beliau tetap percaya dengan apa yang saya lakukan. Kelebihannya lagi, hanya dengan mendengar saya membaca Al Fatihah di depan beliau, seakan-akan seluruh permasalahan kehidupan saya sudah diketahui olehnya. Ketika Al Fatihah saya berbeda dari biasanya, beliau tanggap "Ada masalah apa?"
Mengenai Tejo ini, Pak Nur tidak pernah menyinggung apapun meskipun beliau tahu dia adalah pemabuk dan saya menjadi teman akrabnya.

Saya tetap ikut kumpulan minum mereka di pos. Kalau ada orang lewat biar saya yang mengamankan agar tidak diganggu. Kalau minuman oplosan satu ember itu sudah habis, saya berusaha mencegahnya agar tidak beli lagi. Tidak nambah lagi. Sesekali saya mengajak Tejo pulang lebih awal agar tidak terlalu banyak minum.

Saya gak pernah sekalipun melarang dia membeli minuman keras. Kalau masih pengen dengan itu, lanjutkan saja dan kurangi jumlahnya. Saya hanya sesekali mengajaknya masuk Masjid dan sholat. Itupun dia gak pernah mau. Agaknya dia juga mulai sungkan dengan saya ketika mau beli minuman. lambat laun berkurang juga jumlahnya.

"Suatu saat dia pasti berubah. Kamu terus berusaha saja untuk menjauhkan Tejo dari minumannya. Urusan dia mau berubah atau tidak biar menjadi urusan Tuhanmu." Begitu kata Pak Nur di suatu sore.

"Inggih pak." Jawab saya.

Kalau sudah Pak Nur yang bicara seperti itu, bukan tidak mungkin beliau memberikan doa-doa kepada teman saya Tejo itu. Saya yang disuruh berusaha, Pak Nur yang berdoa.

Apakah perjuangan saya kepada Tejo berhasil menjauhkan dia dari minumannya? Saya gak tahu. Yang saya tahu adalah saya melakukan sesuatu agar dia menjauh dari perbuatan minum-minum itu. Kabar terakhir dia menjadi seorang tukang kayu. Dan yang lebih menyenangkan lagi setelah saya pindah ke sini, kabarnya dia bergabung dengan grup sholawat pimpinan Pak Nur, Alhamdulillah.
----------

Kita tinggalkan saja cerita tentang Tejo, sekarang beralih ke cerita lain.

Di kampung dulu sering mengadakan hajatan di depan rumah. Acara nikah, acara sunatan diadakan dengan ramainya. Menggelar sound system yang hingar bingar terdengar hingga kampung sebelah. Banyak tamu yang datang dan terkadang begadang hingga malam, hingga pagi. Begadang hingga pagi itu sudah pasti ada judinya.

Saya hanya lapor ke Pak Nur tentang kegelisahan hati saya. Setiap saya ikut nongkrong dalam begadang yang ada judinya tersebut, kok ya mereka gak sadar-sadar bahwa permainan dan harapan-harapan tentang uang banyak itu hanya ilusi belaka. Mereka hanya memutar uang 20ribu hingga 50ribu setelah mencari dengan keringat. Saya kasihan sekali, uang mereka sedikit namun dihadirkan ke meja judi agar bisa jadi berlipat. Sungguh sangat memprihatinkan. Saya ingin ikut nimbrung agar mereka gak terus-terusan berjudi.

Pak Nur berpikir keras. Saya dikasih sesuatu oleh pak Nur, sesuatu yang harus saya baca setiap malam jika saya ingin duduk di meja judi itu.
"Ingat, uang yang kamu pegang dan uang yang kamu dapat itu tidak bisa dipakai untuk 3 hal. 1. Dilarang dimakan, 2. Dilarang dipakai, beli pakaian, beli celana, beli jam tangan, beli buku atau apapun yang nantinya kau pakai atau dipakai orang lain, 3. Dilarang disedekahkan, dilarang dikasih ke orang." Begitu kata Pak Nur

Saya hanya manggut-manggut.

"Jika kamu melanggar, ilmunya jadi tidak berguna lagi." lanjut beliau

Sungguh persyaratan yang sangat berat. Lha gimana, uang kan kalau tidak dimakan, dibelikan sesuatu atau disedekahkan. Lah ini dilarang semua. Bingung juga.

Dengan mantap saya datang ke acara nikahan tetangga. Saya juga kenal beberapa pejudi kelas teri yang juga hadir. Setelah menunggu beberapa lama, acara begadang pun dimulai. Meja diputar dan ditata sedemikian rupa hingga ada kelompok-kelompok judi. Saya ikut duduk nimbrung di salah satu meja dan pasang. Whaa, rasanya senang sekali menjadi God of Gambler. Menang terus di meja ngabisin uang lawan.

Malam sangat larut, meja saya berkurang orangnya satu per satu. Hingga akhirnya habis tinggal saya sendirian yang duduk, semuanya menyerah. Sedangkan meja yang lainnya masih riuh ramai dengan permainannya masing-masing. Saya sampai bingung sendiri, ini gimana ceritanya kartu saya bisa hoki sepanjang masa. Tarkhim subuh sudah bergema, semua orang bergegas pulang.

Saya bingung sendiri dengan uang yang saya dapat saat itu. Mau diapain uang sebanyak ini?

Sejak kejadian itu, saya jadi mantap untuk datang ke pesta-pesta hajatan. Saya menunggu momen-momen bubaran dan penataan meja untuk berjudi. Pas meja sudah siap, saya mengambil posisi duduk di salah satu meja. Beberapa orang gentar, gak jadi duduk. Meja yang seharusnya berisi 8 orang, hanya terisi 5 orang saja. Itupun saya tidak butuh waktu lama untuk membuat mereka menyerah kehabisan dana.

Dalam pikiran saya, saya tidak bisa menghalau kegiatan judi ini. Tapi saya berusaha untuk mengurangi orang-orang yang bermain judi ini. Meja yang saya duduki harus dijauhi orang karena mereka gak kepingin kalah. Begitu mereka melihat saya, mereka mengurungkan judi karena pasti kalah. Minimal saya mengurangi jatah 1 meja dari perbuatan judi.

Di lain waktu, saya datang dan duduk di salah satu meja judi. Gak ada yang berani menghadap. Adapun beberapa orang yang datang malah mengajak ngobrol tanpa judi. Meja yang seharusnya dipakai judi malah dipakai untuk ngobrol. Ahh, gak tahu lah, yang penting saya mengurangi jatah mereka-mereka agar tidak judi.
-------------

Ahh begitu kelam hidup saya. Sampai saya harus berteman dengan teman-teman yang rusak. Alhamdulillah Tuhan masih melindungi saya dengan mengirimkan guru yang selalu memantau tingkah laku saya. Kepercayaan guru yang diberikan ke saya membuat saya tidak bisa berbuat apa-apa, membuat saya tidak bisa melangkah lebih jauh, membuat saya malah tidak bebas berbuat dosa.

Hingga saya dipertemukan dengan seorang teman cewek, sebut saja Rose. Rose ini adalah teman beda kampung, saya hanya beberapa kali bertemu dan menyapa orangnya, hanya saja tidak terlalu akrab. Kegiatan saya memang jarang melalui kampung sebelah karena sehari-harinya jalan yang saya lalui berbeda arah.

Kabar burung yang membawa berita tentang sebuah diskotik yang pertama kali muncul di kota, Rosa ini sering terlihat di sana. Ah ... penasaran, saya pun mencari tahu. Hingga suatu malam saya memberanikan diri masuk ke dalam. Harga tiket masuk 25rb, wew sungguh jumlah yang sangat wah untuk ukuran saya saat itu. Setelah saya masuk ke dalam, sungguh sebuah dunia baru yang selama ini tidak pernah saya lihat sebelumnya. Gemerlap malam dengan dentuman musik yang tiada terkira.

Setelah berjalan berkeliling, saya menemukan sosok Rose.

"Rose, kamu di sini?" Saya pura-pura terkejut saja. Padahal aslinya memang ingin mencari dia. Ahh, dia terlihat cantik malam itu. Penampilannya berubah drastis, tidak seperti pas ketemu di kampung sebelah yang terlihat pendiam.
Agaknya dia terheran, kenapa orang seperti saya kok bisa nyampe ke sebuah diskotik, tempat yang berisikan segala maksiat di dalamnya.

"Eh kamu mas. Tumben maen ke sini?" Jawabnya dengan nada yang riang. Sepertinya dia sudah terbiasa menyambut orang baru dengan gaya seperti itu. Saya pun ngobrol di pinggir dengan minuman ringan.

skip ... skip ...

Demi menarik Rose dari kubangan maksiat setiap malam akhir minggu itu, saya rela "pacaran" dengannya. Seorang perempuan yang hatinya sedang bimbang dengan kehidupannya, harusnya ditemani untuk segera keluar dari dunia kelamnya. Saya menemani untuk sekedar makan dan menikmati sore hari tenggelamnya matahari. Mendengar cerita-ceritanya yang selama ini terpendam, bahwa ternyata orang tuanya terlalu sibuk. Hingga anaknya kemana pulang malam pun tidak dikhawatirkan. Ada kepedihan diam-diam di hatinya, ada ketidaksetujuan atas orang tuanya yang kurang memperhatikan anaknya ini. Semua cerita tertumpah, saya menyediakan telinga yang lebar, waktu yang panjang dan hati yang luas untuk menampung segala keruwetan kisahnya. Meskipun sesekali saya tidak menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hidupnya.
Sesekali waktu saya mengantarkan Rose pulang ke rumahnya karena larut malam. Orang tuanya sepertinya tidak peduli dengan anaknya, namun masih menaruh hormat kepada saya. Saya dianggap anak baik karena sering mengaji, hadeeh.

Maka komentar-komentar miring pun langsung tertuju kepada saya.

"Percuma kamu ngaji, eee ternyata malah pacaran."

"Pacaran kok sama cewek yang gak bener. cari yang lain lah."

Saya tetep menjalaninya. Tujuan saya adalah menjauhkan Rose dari diskotik, dari dunia malam yang sering dikunjunginya, dari tangan-tangan nakal yang setiap malam menyentuhnya. Menemaninya untuk keluar dari dunia kelam yang selama ini menutup kehidupannya.

Saya tidak menuntut Rose untuk rajin sholat apalagi berjilbab. Saya hanya berharap dia akan mengerti sendiri bahwa sholat itu kewajiban, bahwa menghadap Tuhan itu kebutuhan.

Akhirnya waktu juga yang memisahkan. Saya harus berangkat ke luar kota untuk melanjutkan tugas sekolah. Perpisahan yang sedih, sebagaimana para pecinta yang lain. Dulu pernah terlibat dalam kehidupan malam yang kelam, sedikit demi sedikit saya ajak untuk menjauh dari itu semua. Ah, cinta memang begitu membutakan, tapi saya harus menyudahi semua ini. Misi sudah hampir selesai, waktunya untuk pindah ke tugas yang lain.

"Saya gak akan memaksamu sholat, dan juga gak akan memaksamu pakai jilbab. Kalau sedang ingin mengeluh, kurangi minum-minuman, mengeluhlah hanya kepada Allah. Ketika hatimu sedang resah, Allah mau kok mendengar keluh kesahmu."

Itu saja pesan saya sebelum meninggalkannya.

Kurasa Rose sudah bisa mandiri tanpa saya dampingi. Dia sudah mempunyai kegiatan sendiri, mengajari anak-anak SD untuk belajar di rumahnya setiap sore. Semacam les begitu tapi sukarela atas inisiatif Rose sendiri. Ahh Rose, kamu sudah berubah, semoga Allah sayang padamu.

-------
Saya ceritakan Rose kepada pak Nur, semuanya. Tentang kehidupan malamnya, tentang saya "pacaran" dengannya.

"Kapasitasmu memang di situ." jawab pak Nur pendek
-------

Ketika melihat orang yang melakukan dosa dan kesalahan, kok bisa-bisanya kita malah membenci orangnya. Sebutan hewan dan isi kebun binatang muncul semua. Bahkan vonis bid'ah sesat kafir neraka pun meluncur dengan indahnya dari mulut. Apakah begitu mudahnya memberikan penilaian? Seakan-akan orang tidak diberi kesempatan memperbaiki diri. Apakah penilaian itu juga berlaku bagi Tuhan? Seakan orang yang berbuat salah itu tidak diberi kesempatan masuk surga.

Tuhan sendiri masih memberikan waktu buat hamba-hambanya untuk bertaubat. Selama seseorang masih hidup, maka penilaian surga neraka itu biarlah menjadi urusan Tuhan. Tugas kita adalah memberikan kesempatan orang untuk berubah, tugas kita adalah mengajak untuk menjauhi maksiat dan dosa. Tugas kita adalah mengajak kepada kebaikan. Karena kita sendiri juga belum tentu lebih baik daripada orang-orang yang telah berbuat dosa dan kesalahan itu.

Saya percaya bahwa hati manusia itu ada sisi baiknya. Maka kepada setiap bencong yang pernah berkenalan dengan saya, saya tetap menghormatinya sebagai sesama manusia. Toh tidak ada yang tahu juga siapa yang lebih baik antara saya dan bencong tersebut kan. Siapa tahu suatu saat nanti bencong itu tobat dan tobatnya diterima oleh Tuhan. Sedangkan saya malah terperosok sendiri ke dalam kejumudan, kebaikan yang tidak seberapa namun merasa berbangga diri merasa paling suci.
Alhamdulillah sampai saat ini saya belum pernah bertemu dengan mereka yang mengaku sebagai LGBT. Namun sikap saya tetap seperti kepada teman-teman saya di atas. Saya tetap menghormati mereka, tetap berkawan dengan mereka. Perbuatannya kita lawan habis-habisan, kita berantas. Namun orangnya kita kasihi, kita selamatkan, kita dorong orang-orang LGBT ini untuk masuk surga.

2 komentar:

  1. Salut Bang. Ini juga yang bapak saya lakukan di waktu muda beliau. Karena kerjannya nyupir angkot, ya bapka berteman dengan orang-orang terminal yang suka mabuk, tapi alhamdulillahnya beliau gak ikut mabok. Malahan ngajakin sholat. Tapi ya itu, gak maksa dan tetep dideketin terus. Jadi kangen sama beliau habis baca ini.

    BalasHapus
  2. Luar biasa Mas, wujud empati yang membumi, memenangkan jiwa dengan menghargainya. Apresiasi sungguh. Salam

    BalasHapus

Ada komen, silahkan.
Mohon maaf jika tersandung Chapcha, setting saya sudah non-aktif tapi mungkin ini adalah kebijakan blogspot. Terima kasih