Kamis, 30 Oktober 2014

Tidak lulus itu ...


"Enak ya mbok, gak lulus sekolah trus bisa memimpin."

"Ya memang enak bang, namanya juga memimpin perusahaan besar. Siapa yang gak ngiler coba. Gak lulus Harvard tapi jadi pimpinan facebook. Gak lulus dari University of Houston jadi pimpinan Wordpress. DO (Drop Out) dari IAIN Sunan Ampel malah jadi pimpinan Jawa Pos Group. Ada juga orang yang gak tamat SD dari kota Malang sekarang jadi motivator terkenal di Indonesia, DO dari ITS malah dipaksa jadi Presiden direktur Baba Rafi. Gak lulus SMA malah bisa jadi Menteri. Enak kan gak perlu capek-capek kelamaan di bangku sekolah."

Saya kaget dengan jawaban mbok Djum ini. Apakah mbok Djum akan membawa polemik menjadi perlu atau tidaknya sekolah, perlu atau tidaknya ijazah. Tapi yang jelas harusnya sekolah itu penting.

"Kok gitu mbok?"


"Lha iya toh bang. Kalau yang mereka sebut itu adalah Mark Zuckerberg, Matt Mullenweg, Bill Gates, Dahlan Iskan, Andrie Wongso, Hendy setiono, Sri Pujiastuti. Maka saya mendukung penuh perbuatan tidak lulus itu. Artinya dia sedang mencontoh jalan yang sudah dilalui oleh orang-orang yang berhasil tersebut. Artinya dia sudah bosan dengan metode yang diajarkan di sekolah dan siap dengan percepatan-percepatan yang dimiliki oleh mereka-mereka yang sukses itu."

"Kok jadi serius begini mbok?"

"Saya serius karena ini menyangkut salah kaprah di masyarakat kita bang."

Pertama,
Setelah keluar dari sekolah dipikirnya dengan diam saja dan tiba-tiba jadi pemimpin perusahaan besar. Dengan sekolah yang tidak lulus otomatis beban mikirnya jadi berkurang kemudian secara ajaib jadilah pemimpin pabrik terkemuka.

Kedua
Kira-kira, dari sekian orang yang putus sekolah, berapa persen yang menjadi orang besar, pemimpin perusahaan, jadi menteri? Tidak tahu kan? Karena yang sering kita dengar dan kita baca adalah kisah sukses dari orang-orang yang putus sekolah. Sedangkan kisah gagal dari orang putus sekolah tidak pernah ditulis, dipublish. Berapa banyak mereka-mereka yang putus sekolah kemudian malah jadi buruh, office boy, jadi tukang cuci, tukang sapu, pekerja serabutan.
Saya tidak merendahkan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerjaan apapun tetap mulia. Hanya saja yang tidak saya suka adalah mereka mengeluh dengan pekerjaannya karena pendidikannya tidak sampai. Mengeluh ini menjadi semacam pembenaran diri agar dimaklumi dan dikasihani.
Seingat saya, data dari kementrian pendidikan yang putus sekolah SMP dan SMA tahun 2008 ada 356ribu, tahun 2009 ada 311ribu, tahun 2010 ada 308ribu, tahun 2011 ada 194ribu. Menurut sampeyan, dari sekian banyak orang yang tidak lulus sekolah itu, yang menjadi pemimpin berapa orang? Berapa persen? Semua?

Ketiga
Yang dilihat dan ditiru dari contoh orang-orang berhasil adalah keluar dari sekolah. Sedangkan kegiatan setelah keluar dari sekolah tersebut tidak diketahui sama sekali. Maka sesaat setelah dirinya keluar dari sekolah, bingung tidak tahu harus berbuat apa. Bermalas-malasan dengan berandai-andai dirinya ditemukan oleh seorang pangeran dari pulau Kayangan yang akan mengangkatnya menjadi pemimpin sebuah perusahaan ternama.

"Jadi gimana mbok, sekolah itu perlu gak, ijazah itu perlu gak?"

"Sekolah atau institusi pendidikan adalah salah satu tempat untuk belajar. Pengetahuan-pengetahuan yang diajarkan di sekolah pada dasarnya adalah intisari dari pengalaman-pengalaman hidup yang dikumpulkan dan dirangkum sedemikian rupa dalam bentuk yang lebih sederhana agar mudah dicerna. Agar mudah dipelajari.
Karena ilmu sekolah itu sifatnya intisari dan rangkuman, maka bagi mereka yang segera menyadari ternyata ilmu sekolah itu sangat sedikit sekali dibandingkan dengan ilmu kehidupan. Ilmu sekolah adalah ilmu paling minimal dipelajari selama hidup. Kalau pengennya yang sederhana, yang mudah, yang terstruktur, yang paten, yang sudah ditentukan waktu lulusnya, ya masuk saja ke sekolah. Kalau sudah mampu otaknya, maka bisa saja langsung belajar sendiri di kehidupan secara langsung tanpa harus sekolah.

Pertanyaan sekolah itu perlu apa tidak, ijazah itu perlu apa tidak. Tergantung masing-masing orang. Biasanya orang yang menganggap ijazah tidak perlu adalah orang yang tidak punya ijazah. Bagi mereka yang sedang mencari kerja, ijazah adalah hal yang wajib.

Tentang pabrik, tentang perusahaan yang membutuhkan karyawan berijazah. Persyaratan dan pertanyaan yang diajukan pada dasarnya adalah menginginkan kandidat sudah belajar ilmu yang diinginkan pabrik tersebut.

Misalnya, sebuah perusahaan membutuhkan seorang manajer untuk membangun tiga tower apartemen masing-masing 80 lantai. Maka normal dan wajar jika perusahaan tersebut meminta persyaratan ijazah teknik sipil. Karena perusahaan menginginkan bukti bahwa kandidat sudah pernah belajar ilmu tentang bangunan meskipun hanya sedikit belajar di S1.

Tapi lain lagi kalau ada seorang kandidat SMA saja gak lulus namun mempunyai bukti lain. Dia pernah jadi manajer proyek pembangunan Mall Mangga Tiga dalam waktu 15 bulan, manajer proyek pembangunan Perumahan Rakyat 8000 unit dalam waktu 24 bulan, manajer proyek pembangunan pabrik 24 hektar dalam waktu 30 bulan. Meskipun SMA tidak lulus namun kandidat ini belajar dari kehidupan langsung, belajar pada medan yang sesungguhnya secara lengkap, bukan intisari atau rangkuman. Pasti akan lebih menjanjikan daripada mereka-mereka yang hanya pegang ijazah.

Kalau hanya bilang, saya bisa ini bisa itu tanpa ada bukti ya percuma. Perusahaan perlu bukti, kalau masih belum punya karya, bukti satu-satunya adalah ijazah itu.

Saya malah menginginkan ada orang tua yang berbicara kepada anaknya "Ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau kamu dengan sekolah SMA saja bisa jadi pemimpin perusahaan besar." Artinya orang tua tersebut sudah mengetahui bahwa anaknya memang melesat jauh dari anak-anak seumurannya sehingga untuk menjadi pemimpin tinggal menunggu waktu yang tidak lama. Mendorongnya untuk segera berkarya dan berbuat sesuatu yang sangat besar yang akan mengangkat dirinya dan keluarganya.

Atau ada seorang dosen yang dengan cara halus mengusir mahasiswanya "Kamu terlalu pintar untuk kelas ini, cepat keluar dan jual ide ini kepada masyarakat." Dosen ini berpikir positif tentang mahasiswanya. Karena ide dan keinginannya untuk mewujudkannya lebih besar effortnya daripada apa-apa yang diajarkan di bangku kuliahnya. Bahwa ternyata sang dosen menyadari apa yang sedang diajarkannya itu tidak ada bandingannya dengan pengalaman mahasiswanya. Apa yang sedang dikerjakan mahasiswanya itu telah mencakup seluruh materi ajarannya, bahkan lebih kompleks.

Maka jika sudah sampai pada pengertian kesadaran tingkat ini, sekolah ataupun putus sekolah tidak masalah. Pegang ijazah atau tidak tetap diharuskan belajar.
Sekolah diharuskan belajar jam 7 hingga jam 12, sedangkan ketika sudah putus sekolah maka jam belajarnya tambah lebih panjang hingga tidurnya pun hanya 3 jam per hari. Ketika melakukan kesalahan perhitungan misalnya, di sekolah mungkin ulangannya dan rapornya hanya diberi nilai 4, sedangkan ketika belajar di kehidupan, kesalahan hitung seperti ini akan menyita televisi lemari hingga motor kesayangan. Sekolah boleh putus, namun proses belajar pada kehidupan harus tetap berjalan, bahkan lebih keras. Mereka yang banyak mendapatkan ilmu dari kehidupan akan bisa menguasai dunia.

Coba lihat cerita-cerita orang yang putus sekolah tapi berhasil. Setelah putus sekolah mereka tidak berleha-leha tidak tinggal diam. Mereka langsung ambil tindakan belajar lebih keras, melakukan percobaan berulang kali dan dipelajari hasilnya. Terus begitu berulang kali, coba, coba. Hingga tidak kurang tidur, hingga kurang makan. Mereka mencoba kemudian dimarahi orang, mereka mencoba kemudian dicurangi, mereka mencoba kemudian mengalami kerugian, mereka mencoba kemudian dicuri, mereka tidak gentar dan terus belajar dari ilmu kehidupan apa-apa yang tergambar pada setiap kejadian.

Coba dengarkan cerita-cerita orang yang putus sekolah tapi pengeluh dengan pekerjaannya. Salah satunya komen

"Enak ya mbok, gak lulus sekolah trus bisa memimpin."

Kalimat saya yang diucapkan ulang mbok Djum itu sangat menohok saya. Padahal saya kan lulus sekolah pegang ijazah.

10 komentar:

  1. Tadi baca bang ada profesor di salah satu perguruan tinggi bilang kalo bu susi gak bakalan mampu memikirkan hal-hal rumit yang (mungkin) hanya bisa dipikirkan oleh orang-orang dengan pengetahuan luas dan pendidikan tinggi. Jadi kepikiran deh, cuman habis baca postingan ini kan mestinya beliau diangkat jadi mentri pastinya melalui berbagai macam pertimbangan ya. Entahlah.. Mari kita lihat saja..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itu maksud saya, mengangkat seorang pemimpin itu akan membawa dampak secara langsung terhadap struktur.
      Saya yakin mereka yang jadi pemimpin itu sudah menjalani kehidupannya dan teruji kualitasnya. Kualitas baik akan berakibat baik, kualitas buruk akan berakibat buruk

      Hapus
  2. yang lulus sekolah ataupun tidak harus berjuang untuk bisa berhasil ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lulus ataupun tidak lulus tetap harus berjuang untuk keberhasilan masing-masing. Kalau hanya mikir tidak lulus sekolah thok, ya hanya akan menambah angka pengangguran di negeri ini

      Hapus
  3. Balasan
    1. Semoga saja kita bisa meniru langkah-langkah yang dilakukannya

      Hapus
  4. Wong pinter tp ora sekolah malah luwih berbahaya lho....

    BalasHapus

Ada komen, silahkan.
Mohon maaf jika tersandung Chapcha, setting saya sudah non-aktif tapi mungkin ini adalah kebijakan blogspot. Terima kasih